Pages

Jumat, 04 November 2016

Pasca Demo, Lawan Jadi Coyotes

Gelegar demo 4 November berakhir sudah. Jika ada demo-demo selanjutnya sampai lebaran kuda, arahnya mudah dibaca. Publik akhirnya menarik beberapa kesimpulan. 


Pertama, demo itu berhasil membuat nama FPI sekaligus Habib Rizieg melambung. Ia berhasil menyelenggarakan demo akbar ratusan ribu orang dengan dukungan dana lebih Rp. 100 miliar, menghimpun lebih banyak umat islam militan dan memberi pesan kepada dunia bahwa FPI masih hidup di bumi Indonesia. Ke depan, reputasi Habib Rizieg akan menjadi jaminan untuk menggerakkan demo selanjutnya. 

Kedua, FPI berhasil mengubah skenarionya dari demo memaksakan kehendak, berpotensi menimbulkan kerusuhan massal (anjuran menulis surat wasiat), menjadi demo damai, tak anarkis, dan melegakan semua pihak. Tentu saja perubahan skenario FPI itu disebabkan oleh manufer tak diprediksi Jokowi yang bertemu Prabowo, para pimpinan MUI, NU dan Muhammadiyah, pimpinan Pemred media dan tekanan sigap aparat penegak hukum. 

Ketiga, publik semakin yakin bahwa demo itu ditunggangi oleh beberapa partai yang mempunyai kepentingan besar di Pilkada DKI. Bantahan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat bahwa ia sama sekali tidak terlibat di belakang demo itu, justru menguak tabir perannya yang sebenarnya. 

Sebetulnya tidak ada yang salah ketika SBY mengeluarkan statement agar Ahok diproses sesuai hukum. Namun pernyataannya bahwa Ahok jangan sampai kebal hukum, tak bisa disentuh, jelas ia mencurigai Jokowi membela Ahok. Pernyataan selanjutnya bahwa akan ada demo sampai lebaran kuda jika Ahok tidak diproses alias tidak ditangkap, menunjukkan belang SBY yang sangat menginginkan Ahok tumbang sebelum berlaga. 

Keempat, publik akhirnya terpolarisasi menjadi dua pihak. Pihak pertama adalah mereka yang sangat membenci Ahok karena dia  double minoritas, bermulut kasar, dan dianggap telah menista agama dan mau mendepaknya di kursi DKI-1. Pihak kedua adalah mereka yang berjiwa nasionalis, kaum bernalar dalam yang melihat kinerja hebat Ahok di DKI dan kaum muda yang senang dengan perubahan. 

Kelima, masyarakat Jakarta terlihat semakin dewasa. Fakta itu terlihat ketika sebagian besar pendemo justru didatangkan dari berbagai daerah sekitar Jakarta bahkan ada dari luar pulau Jawa. Padahal jika mau jujur masyarakat yang memilih atau tidak memilih Ahok nantinya adalah masyarakat Jakarta yang berjumlah sekitar 7 juta pemilih. 

Jika ada 5% saja masyarakat Jakarta yang tersinggung atas ucapan Ahok terkait Surat Al-Maidah ayat 51 itu, berarti harus ada pendemo sekitar 350 ribu orang yang turun ke jalan. Faktanya jumlah pendemo yang berkisar 100 ribu-an orang itu (perkiraan sementara penulis), lebih setengahnya berasal dari luar daerah Jakarta. Artinya masyarakat Jakarta yang ikut demo kurang dari 50 ribu orang. Dibandingkan jumlah pemilih di DKI yang berkisar  7 juta orang, maka jumlah pendemo itu sama sekali tidak signifikan. Itu artinya demo 4 November itu kurang begitu berpengaruh bagi para pemilih Ahok. 

Keenam, dan ini poin yang amat penting, demo 4 November itu akhirnya bisa dikatakan gagal mencapai tujuannya. Awalnya skenario tujuan demo amat jelas, yakni (1) memancing 500 ribu hingga jutaan umat islam turun ke jalan-jalan untuk bersatu dan meneriakkan yel-yel tangkap Ahok, (2) jika hal pertama tercapai, maka pendemo akan memaksa Jokowi dan Kapolri menersangkakan Ahok pada hari Jum’at  4 November 2016. Jika tidak, maka pendemo akan menginap di istana, menguasai istana dan akan melakukan kerusuhan massal, (3) Jika tujuan pertama dan kedua tercapai maka tujuan ketiga adalah menjadi tujuan SBY sendiri. Ia akan tertawa puas penuh kemenangan di Cikeas  dan kedepannya akan menyaksikan puteranya Agus melenggang mulus menuju DKI-1 tanpa Ahok. 

Faktanya, sebagaimana kita lihat, baik tujuan pertama maupun tujuan kedua, dua-duanya tidak berhasil berkat manufer jitu Jokowi. Sementara tujuan ketiga, berhasil atau gagalnya menumbangkan Ahok nantinya, hal itu sangat tergantung pada manufer berikutnya SBY. Hal yang sangat menarik untuk diamati adalah soal posisi Ahok, Jokowi dan SBY pasca demo 4 November itu. 

Seperti di film kartun berjudul Road Runner dan Coyote, kita bisa melihat posisi Ahok sebagai Road Runner dan SBY sebagai Coyote. Dalam film kartun itu, Coyote digambarkan seperti musang,  sangat bernafsu menangkap seekor burung yang dinamakan Road Runner. Burung ini selalu memancing nafsu Coyote untuk memangsanya. Kendatipun burung berleher biru ini tidak bisa terbang dan selalu mengeluarkan bersuara: “beep beep”, namun mempunyai kemampuan super untuk berlari sangat kencang. Setiap kali Coyote mengejar dan mau menangkap Road Runner, ia selalu gagal dan sial. SiRoad Runner  sulit ditangkap dan masuk jebakan. 

Para lawan Ahok yang diibaratkan para Coyotes seperti SBY, Amin Rais, Lulung, Habiburohman, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Habib Rizieg dan lain-lain sangat ingin menangkap Ahok, si burung Road Runner itu. Para Coyotes ini selalu bekerja sama dan menempuh segala cara untuk menangkapnya. Mereka sealu memasang jebakan, misalnya dengan lubang, permen karet, ranjau, dinding dan sebagainya. Kadang juga pengejaran menggunakan roket, sepeda motor atau kendaraan lain. Namun sialnya Ahok sama seperti si Road Runner itu selalu saja lolos dari tangkapan mereka. 

Akhirnya para lawan Ahok hanya bisa memaki, demo akbar, memfitnah, dan bahkan ada yang terang-terangan mau membunuh Ahok. Menurut hemat penulis, demo 4 November 2016 itu akan berlanjut hingga demo lebaran kuda. Para Cayotes akan terus mengejar Road Runner sampai mereka benar-benar menangkapnya. Alasannya hanya itulah jalan satu-satunya yang masih tersisa sebagai celah untuk menangkap Ahok. Lewat demo-demo itu nantinya, para lawan Ahok termasuk SBY, berharap Ahok akhirnya ditangkap, menjadi tersangka, dan kalau tidak akan mati kena penyakit, terbunuh atau tidak dicoblos oleh pendukungnya pada Pilkada 2017 mendatang. 

Sementara itu pasca demo 4 November, Jokowi menegaskan dirinya sebagai sosok pekerja keras. Setelah ia tahu lewat intelijennya hal-hal terkait demo 4 November, Jokowi memberi pesan kepada seluruh rakyatnya agar bekerja seperti biasa, ngantor seperti biasa.  Dan seperti biasa, hari ini Jokowi bekerja setengah hari di istana dan menerima beberapa laporan menterinya. Setelah  itu ia tetap bekerja keras dan pergi blusukan meninjau pembebasan lahan kereta api di Bandara Soekarno Hatta. 

Pesannya jelas. Demo hanya membuang-buang waktu dan sama sekali tidak akan memajukan negara ini. Seolah Jokowi mengejek Amin Rais, Fadli Zon dan Fahri Hamzah  yang sibuk demo bahwa bekerja lebih penting untuk membangun bangsa ini. Jika ada yang melakukan kesalahan, biarlah penegak hukum melakukan tugasnya. Kita tidak perlu membuang-mbuang banyak energy untuk memaksakan kehendak apalagi kalau ada tujuan politisnya. 

Jadi kendatipun ada demo yang menggelegar di istana, justru Jokowi tetap bekerja. Ia pergi blusukan dan menegaskan dirinya sebagai seorang The Blusukan King. Jika demo hanya membuang energi, materi dan menggangu keamanaan,  maka jelas bekerja dan blusukan jauh lebih bermanfaat. Jadi, pasca demo 4 November, Ahok menjadi Road Runner, sosok yang terus dikejar-kejar, Jokowi menegaskan dirinya sebagai The Blusukan King, sementara lawan Ahok menjelma menjadi Cayotes. Begitulah kunang-kunang. 

kutipan dari Salam Kompasiana, Asaaro Lahagu


0 komentar:

Posting Komentar